PARIMO – radarparimo.com – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Parigi Moutong, , lakukan pemetaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bersama sejumlah OPD terkait.
“Kita bicarakan tentang wilayah pertambangan rakyat, dalam rapat koordinasi itu. Jadi kita bicara tambang bukan berarti harus emas, tentu saja tidak, karena ada bebatuan dan jenis mineral lainnya,” ujar Kepala DLH Parigi Moutong, Mohamad Irfan yang ditemui diruang kerjanya usai rapat koordinasi, Senin (12/7/2021).
Rapat koordinasi dilakukan, menyusul adanya surat Gubernur Sulawesi Tengah tentang kawasan yang akan dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kabupatwn Parigi Moutong.
Di Parigi Moutong sendiri, terdapat 29 titik lokasi di 29 desa yang akan diusulkan menjadi WPR. Kemudian lokasi itu akan dilakukan klarifikasi kembali, untuk memastikan mana wilayah yang memenuhi syarat.
“Awalnya kita berpikir itu pertambangan emas. Ternyata setelah dilihat di peta detailnya bukan hanya emas, tapi ada juga Pasir dan Batu (Sirtu) atau galian C, menurut aturan kemarin. Namun, sekarang ini bukan lagi galian C tapi, batu dan non batuan,” jelas Irfan.
Dikatakan dari 29 titik itu, ada juga kawasan yang tidak boleh digunakan sebagai wilayah pertambangan rakyat. Sebab, dilihat dari peta, lokasi itu ternyata masuk dalam kawasan pertanian basah atau sawah, luasnya sekitar 462 hektare tepatnya berada di Desa Poli Kecamatan Tinombo Selatan.
“Apalagi sawah itu, masuk dalam kawasan pangan lestari. Jadi, tidak bisa dijadikan wilayah pertambangan rakyat,” jelas Irfan lagi.
Dari 29 titik kawasan, sebagian telah dikelola oleh masyarakat setempat, misalnya tambang pasir di sungai Ongka dan Tada.
Pihaknya lanjut Irfan akan menyesuaikan, dari titik-titik kawasan berdasarkan informasi Pemerintah Provinsi, apakah telah memenuhi syarat sesuai RTRW Parigi Moutong atau tidak.
“Setelah kita pilah tadi, ternyata ada yang tidak dan boleh menjadi wilayah pertambangan rakyat,” jelasnya.
Selain itu, ada kawasan hutan yang tidak bisa dijadikan WPR, karena harus melalui proses pembebasan terlebih dahulu. Misalnya di Desa Salubanga Kecamatan Sausu, luasnya sekitar 3 ribu hektare lebih. Kawasan itu diketahui masuk dalam Hutan Produksi Konversi (HPK).
“Hutan ini tidak bisa dikelolah tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk alih fungsi lahan, dari konversi ke lahan area penggunaan lain, seperti tambang itu boleh, tetapi harus mengikuti regulasi,” ujarnya.
Sehingga, kawasan yang diusulkan saat ini telah sesuai dengan RTRW dan telah disahkan sebelumnya.
“Meskipun kawasan lain ini memenuhi syarat, tapi tidak masuk dalam RTRW itu tidak bisa, karena nanti direvisi lagi lima tahun kedepan RTRW, baru diusulkan kembali,” kata Irfan. (abt/opi)