PALU – radarparimo.com – Pengganti Ketua Utama Alkhairaat sepeninggal Habib Saggaf bin Muhammad Aljufri, disarankan agar dilakukan secara musyawarah oleh para ahli waris atau zuriat Pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua.
Sejauh ini, menjelang Muktamar Besar XI Alkhairaat, mekanisme tersebut belum dilakukan. Keberadaan ketua utama saat ini hanya sebatas pelaksana tugas (plt). Namun oleh pihak yang mengatasnamakan tokoh pemuda Alkhairaat, status Plt tersebut adalah sebuah baiat penunjukkan ketua utama.
Steering Committee (SC) Muktamar Besar XI Alkhairaat, Prof. Dr. Zainal Abidin, Selasa (12/07), mengatakan, penunjukan ketua utama memang tidak diatur dalam muktamar.
“Maka pandangan saya, ini diselesaikan dalam keluarga karena muktamar hanya mengatur bahwa ketua utama itu adalah ahli waris yang ditunjuk oleh ketua utama sebelumnya,” jelasnya.
Namun, kata dia, mekanisme penunjukan itu tidak terjadi. Artinya, jelas dia, Plt ketua utama itu bukanlah pengganti ketua utama.
“Karena mekanismenya itu ditunjuk oleh ketua utama sebelumnya, sebelum dia berakhir atau meninggal. Tapi ini tidak terjadi. Ini yang saya pahami dan bisa saja orang lain memahaminya berbeda,” terangnya.
Ketua Dewan Pakar Pengurus Besar (PB) Alkhairaat itu menambahkan, jika mekanisme penunjukan oleh ketua utama sebelumnya belum terjadi, maka harus dikembalikan ke keluarga sebagai zuriat.
“Silahkan mereka bermusyawarah untuk menetapkan siapa ketua utama. Kewenangan ada pada ahli waris untuk menetapkan kembali siapa di antara mereka yang menjadi ketua utama. Kalau mereka sudah sepakat, kita tidak perlu campur karena ini urusan zuriat,” tegasnya.
Ia menambahkan, muktamar memang tidak diberi kewenangan untuk memilih ketua utama, tetapi mengatur mekanisme penunjukan ketua utama juga dibenarkan, selama ketua utama terpilih setuju dengan mekanisme yang diatur dalam muktamar tersebut.
“Misalnya di muktamar yang akan datang, akan ada dewan ketua utama. Ini misalnya. Dewan ketua utama ini terdiri dari zuriat. Ketika ketua utama akan mengambil keputusan, itu didasarkan rapat dengan dewan ketua utama. Sehingga keputusannya tidak lagi individu, tetapi kolektif, sehingga kesan like or dislike (suka atau tidak suka) sudah tidak ada,” jelas Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu itu.
Ia menilai, apa yang terjadi belakangan ini, khususnya yang mempersoalkan status ketua utama maupun ketua umum PB Alkhairaat adalah dinamika di setiap muktamar. Ditambah lagi, muktamar kali ini agak berbeda, di mana tidak ada lagi ketua utama yang bisa menyelesaikan semua problem ketika terjadi perbedaan pandangan.
“Saya punya pandangan, Alkhairaat akan memasuki abad ke-2, yaitu 100 tahun kedua berdirinya, ditambah dengan kemajuan teknologi, pola pikir yang berubah serta makin banyaknya jumlah zuriat. Tentu bisa saja ada pikiran-pikiran yang berkembang dan berbeda. Saya kira keluarga besar Alkhairaat sudah dewasa,” katanya.
Ia juga meyakini tidak ada pembelahan-pembelahan dalam tubuh Alkhairaat. Ia optimis, perbedaan pandangan tersebut justru untuk tujuan bagaimana memajukan Alkhairaat. Tentunya dengan niat yang sama bagaimana Alkhairaat bisa maju.
“Cara kita bisa berbeda-beda, tetapi tujuan kita satu bagaimana melanjutkan khittah perjuangan Guru Tua. Jadi apa yang terjadi belakangan ini, saya melihatnya sebagai hal biasa, dinamika dalam setiap musyawarah,” ujarnya.
Ia berharap, sesudah muktamar nanti, semua kembali dengan niat ingin mengabdi, melanjutkan perjuangan Habib Idrus bin Salim Aljufri.
“Nilai-nilai seperti ini, dapat saya katakan tidak dimiliki oleh kebanyakan organisasi keagamaan lain di Indonesia,” tandasnya. (**)