PARIMO – radarparimo.com – Ketua AJI Palu, Sulawesi Tengah, Yardin Hasan mengatakan, saat ini mulai muncul sikap pejabat hanya melayani wawancara dari wartawan bersertifikat kompetensi dan media terverifikasi dari Dewan Pers.
“Sikap para pejabat yang menolak melayani permintaan wawancara dengan dua alasan itu, bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang pers,” ungkap Yardin melalui keterangan tertulisnya, Rabu 13 Oktober 2021.
Menurut dia, berdasarkan undang-undang, pers mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi tepat, akurat dan benar.
Sikap para pejabat ini juga bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers, yang hadir dalam rangka menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi (right to information) dan hak untuk tahu (right to know), kepada masyarakat.
Pers mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi tepat, akurat dan benar. Penegasan UU Nomor 40 Tahun 1999, tentang tugas pers itu, belum dipahami secara baik oleh para pihak.
“Pers berperan penting untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Sebagai konsekuensinya, melalui pers, rakyat berhak mengetahui informasi yang berkaitan dengan publik. Berdasarkan hal ini, melalui pers, masyarakat berhak tahu, apa yang dilakukan para pejabat publik dalam menjalankan tugas-tugasnya,” tandasnya..
Jaminan terhadap kebebasan pers memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan perlindungan wartawan. Tak ada gunanya ada kemerdekaan pers, tapi wartawan tidak merdeka dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya.
Selain itu, kemerdekaan pers hadir dalam rangka agar wartawan dalam menjalankan pekerjaannya adalah untuk memenuhi hak atas informasi (right to information) dan hak untuk tahu (right to know), kepada masyarakat.
“Sikap pejabat yang menolak melayani wawancara, hanya karena wartawan tidak bersertifikat kompetensi dan medianya tidak terverifikasi Dewan Pers, adalah sikap dan tindakan yang membungkam kemerdekaan pers,” tandanya.
Menutur dia, tidak ada peraturan Dewan Pers, menyatakan hanya wartawan bersertifikat dan media terverfikasi Dewan Pers, boleh menjalankan wawancara kepada pejabat, karena itu para pejabat di daerah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan semangat kebebasan pers.
Sebab kata dia, sikap itu bias industri, karena memasung kebebasan pers dan mengabaikan keberadaan citizen journalism pers mahasiswa, sebagai wadah menyalurkan pendapat dijamin undang-undang.
“Media yang tidak tersertifikasi bukan berarti secara konten bermasalah. Banyak yang media yang tidak terferivikasi Dewan Pers, karya jurnalistiknya lebih berkualitas. Sebaliknya, media yang sudah bersertifikasi belum tentu secara konten berkualitas. Atau sudah professional dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya,” tegasnya.
Jurnalis bersertifikat kompetensi jelasnya, bukan jaminan yang bersangkutan bersikap professional dan mampu melahirkan karya jurnalistik yang baik. Banyak contoh, jurnalis bersertifikat namun karya jurnalistiknya tidak lebih baik dari jurnalis yang tidak mengantongi sertifikasi dari Dewan Pers.
“Saya meminta pejabat untuk tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai alasan menolak permintaan wawancara dari wartawan,” tandasnya.
Selain itu, para pihak yang terlibat dalam sengketa pemberitaan, harus menempuh mekanisme jurnalistik, seperti hak jawab, hak koreksi dan lain-lain, termasuk membawa kasusnya ke Dewan Pers
Kepada media-media untuk memperbaiki kualitas jurnalistiknya. Menyajikan berita dengan tetap berpegang pada kode etik jurnalistik dan kode prilaku. (**/AJI)